Media baru (new media) yang hadir seiring kemunculan internet sering mendapat respon berlebihan. Di antaranya, media ini dianggap seolah-olah merupakan antitesis media lama yang dianggap membawa cacat bawaan. Media lama, yakni media massa pada umumnya sering diasosiasikan dengan suasana distribusi informasi yang tidak demokratis. Media massa, misalnya, dianggap memonopoli sumber informasi, tidak dialogis terhadap khalayak. Media barudianggap berkarakter sebaliknya.
Media baru memang menghadirkan iklim informasi yang berbeda.
Pertama, interaktifitas. Komunikasi berbasis internet memungkinkan interaktifitas lebih jika dibandingkan dengan media lama, khususnya dengan media cetak dan penyiaran. Salah satu wujudnya adalah tren 'user generated content' dalam aplikasi Web2.0, misalnya dalam Youtube, dimana orang bebas mengunggah videonya sendiri. Slogan Youtube pun terasa provokatif yakni 'broadcast yourself'. Disini khalayak memiliki peran lebih dalam mempengaruhi isi media.
Kedua, keragaman konten dan sudut pandang. Kemelimpahan konten dalam internet tak akan tertandingi oleh media manapun. Internet bisa disebut sebagai chanel informasi yang multimodal, memungkinkan informasi berbasis teks, video ataupun audio dalam jumlah yang nyaris tak terbatas yang tersebar dan terdistribusikan ke individu, kelompok atau organisasi. Kemelimpahan ini pada a
khirnya juga menyediakan beragam sudut pandang bagi khalayak.
Ketiga, selektifitas dan kontrol khalayak. Kombinasi dari interaktifitas yang meningkat dan keragaman konten berarti khalayak dapat lebih selektif sekaligus lebih bisa mengontrol isi media yang menerpanya. Khalayak media baru memainkan peranan yang lebih besar sebagai gatekeeper, karena mereka memiliki banyak piliham sebagai penerima dan juga mampu memfilter, memproduksi dan mendistribusikan informasi bagi mereka sendiri atau pihak lain dengan mudah.
Dengan karakteristik tersebut, khalayak semestinya menjadi lebih berdaya. Namun, faktanya tak selalu demikian, karena peluang memang tak selalu dimanfaatkan. Alih-alih memanfaatkan kemelimpahan pilihan itu, khalayak justru menggunaksn versi online dari media yang lama. Jadi yang berubah hanya cara akses, belum fitur selektifitas atau kustomisasi yang tersedia.
Bahkan yang terjadi seringkali berupa paradoks. Kemelimpahan tidak menghasilkan keragaman dan kekayaan pengetahuan tetapi justru penyempitan pandangan. Fitur selektifitas tidak digunakan untuk memperkaya beragam pandangan pribadi atau kelompok. Dalam jejaring sosial misalnya, pilihan pertemanan atau pilihan untuk mengikuti pendapat orang (following) akhirnya menjadi sangat terbatas, yakni hanya orang-orang dalam satu kelompok saja. Mungkin kita berargumen semua itu untuk melindungi keyakinan dan pemikiran kita, terutama bagi kita pada umumnya yang masih awam. Pandangan ini mungkin ada benarnya, tetapi jelas menggambarkan pesimisme, khawatir kita akan ditelan belantara dunia maya yang tak jelas orientasinya. Ini cara pandang kita sebagai objek, bukan subjek. Kenapa kita tidak berpikir sebaliknya, bahwa inilah kesempatan untuk membangun dialog global. Inilah kesempatan bagi kita untuk membagi pandangan dan keyakinan pada komunitas yang tak terbatas (borderless). Melihat kecenderungannya, kita semakin tak bisa menghindar dari terpaan media baru. Kita juga tak bisa mengingkari karakternya yang menuntut kesiapan menjadi warga global (netizen). Pilihannya kita akan terus menghindar dengan bersembunyi dalam kelompok kita atau segera mempersiapkan diri untuk berdialog dengan siapapun di komunitas global. Perasaan tidak aman saat berinteraksi dengan pihak lain, kata Syamsi Ali -imam di Islamic Center New York, adalah cermin lemahnya keyakinan. Jika kita yakin dengan nilai-nilai kita selama ini maka tak ada alasan untuk menghindar. Apalagi jika kita yakin dengan prinsip "nahnu duat", kita semua adalah da'i, maka harus terus berupaya untuk menyampaikan apa yang kita anggap benar kepada siapapun. Media baru menyediakan berbagai fitur untuk berdialog dengan siapapun. Saatnya kita berpikir apa yang bisa kita bagi untuk dialog global itu. Tak perlu lari menghindar, tapi justru lari mendekat dengan rasa percaya diri. Tentu, semuanya harus kita persiapkan, terutama kekuatan konten yang akan kita dialogkan.
No comments:
Post a Comment